SELAMA 13 tahun, ia menangani puluhan ribu orang yang mempunyai
risiko tinggi terkena penyakit menular seksual dan HIV/AIDS. Meski
bergaji pas-pasan, tak sedikit pun terlintas untuk berhenti. Ari
Istiyadi ingin terus mengabdikan hidupnya untuk manusia-manusia yang
justru dianggap sampah oleh masyarakat sekitar.
Suara Merdeka menemui lelaki gondrong ini di markas Griya ASA PKBI,
Jalan Argorejo RT 6 RW 4 Kelurahan Kalibanteng Kulon, Semarang Barat.
Sore kemarin, ia baru saja tiba dari Kendal. Di rumah bercat biru
yang terletak di tengah kompleks Resosialisasi Argorejo (Sunan Kuning)
itu, belasan tahun Ari mengoordinasi puluhan relawan selama 24 jam
sehari.
“Tidur ya di sini. Hanya sabtu minggu saya pulang ke rumah di Boja,
kadang malah tidak pulang,” kata pria kelahiran Semarang, 14 Februari
1969 itu.
Sebagai koordinator Griya Asa, Ari tercatat menangani lebih dari
2.000 orang yang berisiko tinggi terkena penyakit menular seksual dan
HIV/AIDS. Wilayah kerjanya meliputi wanita pekerja seksual (WPS) di
lokalisasi Sunan Kuning dan Gambilangu. Kemudian WPS di Jembatan Mberok
dan wanita transgender (waria) di Tanggul Indah (TI). Selain itu masih
ada tiga panti pijat yang menjadi mitra binaan.
Resos Argorejo menjadi pusat pergerakan Griya Asa karena jumlah warga
binaan di sana paling banyak. Tercatat di Sunan Kuning terdapat 719
WPS yang bernaung di 160 wisma dan karaoke, sedangkan di Gambilangu ada
161 WPS. Tapi sejatinya, komunitas guy dan waria juga tak kalah pening
mengingat jumlahnya yang luar biasa.
Di Kota ATLAS, estimasi jumlah pria penyuka sesama jenis sebanyak
2000-an sedangkan waria 300-an. Tapi yang tercatat secara resmi di Gria
Asa baru 500 untuk gay dan 60 waria. Semua itu belum termasuk
pendampingan sekitar 50 pecandu narkoba suntik yang juga rentan tertular
HIV/AIDS.
“Pada mereka, kami melakukan pemeriksaan kesehatan dan tes HIV (VCT)
secara berkeliling. Ada yang sebulan sekali ada yang dua kali,” kata
bapak dua anak ini.
Suami Tri Wijayanti ini memulai kegiatannya pada tahun 2000.
Sebelumnya ia adalah aktifis yang melakukan pendampingan dan advokasi
untuk buruh. Dari kegiatannya, Ari banyak melihat bagaimana WPS, waria,
gay, dan para pecandu tidak dipedulikan oleh pemerintah dan masyarakat.
“Akhirnya saya putuskan sendiri untuk terjun, saya datang ke kantor
PKBI waktu itu kemudian ikut mengelola program Griya Asa,” kenangnya.
Jika sekarang tampak lancar, tidak demikian pada saat awal. Dulu, di
Griya Asa hanya ada tiga orang. Tak hanya melakukan pendekatan terhadap
pemilik wisma dan germo, Ari Cs juga harus berhadapan dengan pemabuk
dan pelaku kriminal yang memadati Sunan Kuning. “Saya bahkan pernah
dilempar botol,” kata pria yang kini menempuh kuliah Hukum di Unisbank
Semarang.
Kini, Griya Asa mendapati persoalan baru seiring semakin merebaknya
rumah karaoke. Pemilik karaoke banyak mempekerjakan pemandu (PK) dari
luar resosialisasi. Celakanya, para PK freelance ini mayoritas tidak mau
dibina seperti WPS resosialisasi pada umumnya. “Freelancer ini
beralasan mereka hanya menemani nyanyi, tapi bagaimanapun potensi
transaksi seksual tetap tinggi,” katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar